Tuesday, 3 May 2016

Manfaat Multimedia Pembelajaran Interaktif

Daryanto (2013: 52) mengemukakan apabila multimedia pembelajaran dipilih, dikembangkan dan digunakan secara tepat dan baik, akan memberi manfaat yang sangat besar bagi para guru dan siswa. Secara umum manfaat yang dapat diperoleh adalah proses pembelajaran lebih menarik, lebih interaktif, jumlah waktu mengajar dapat dikurangi, kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan dan proses belajar mengajar dapat dilakukan dimana dan kapan saja, serta sikap belajar siswa dapat ditingkatkan.

Secara umum manfaat media pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga kegiatan pembelajaran lebih afektif dan efisien. Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi terhadap siswa. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,
memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi.

Pemanfaatan pembelajaran dengan menggunakan multimedia menjadi suatu solusi dalam peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan dikelas, dan menjadikan suatu alternatif keterbatasan kesempatan mengajar yang dilaksanakan pendidik.

Daftar Pustaka

Daryanto. 2013. Media Pembelajaran Peranannya Sangat Penting dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta : Gava Media

Sunday, 1 May 2016

Definisi Multimedia Pembelajaran Interaktif

Multimedia pembelajaran Interaktif merupakan penggunaan beberapa media yang berfungsi untuk mengolah pesan dan respon siswa dalam pembelajaran. Menurut Daryanto (2013:51-52) mengemukakan bahwa multimedia interaktif merupakan suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol apapin yang dapat dioperasikan oleh pengguna, sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki untuk proses selanjutnya, sedangkan pembelajaran diartikan sebagai proses penciptaan lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Dari uraian diatas, apabila kedua konsep tersebut digabungkan maka multimedia pembelajaran interaktif dapat diartikan sebagai aplikasi multimedia yang digunakan dalam proses pembelajaran, dengan kata lain untuk menyalurkan pesan (pengetahuan,ketrampilan, dan sikap) serta dapat merangsang pilihan, perasaan, perghatian dan kemaua siswa sehingga secara sengaja proses belajar terjadi, bertujuan, dan terkendali. Sedangkan menurut Cecep (2013:106) secara sederhana multimedia diartikan sebagai lebih dari satu media, bisa berupa kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, dan video.

Dari definisi para ahli tersebut multimedia pembelajaran interaktif pada umumnya adalah berbagai macam kombinasi grafik, teks, suara, video, dan animasi. Penggabungan ini merupakan suatu kesatuan yang secara bersama-sama menampilkan informasi, pesan, atau isi pembelajaran. Media pembelajaran berbasis komputer merupakan salah satu media yang dapat menciptakan lingkungan pengajaran yang interaktif yang memberikan respons terhadap kebutuhan belajar siswa dengan jalan menyiapkan kegiatan belajar yang efektif guna menjamin terjadinya belajar.

Daftar Pustaka

Daryanto. 2013. Media Pembelajaran Peranannya Sangat Penting dalam Mencapai Tujuan Pembelajaran. Yogyakarta : Gava Media.

Thursday, 28 April 2016

Evaluasi Program dengan Metode CIPP

 Evaluasi Program dengan Metode CIPP

Evaluasi, dari awal kemunculannya sampai dengan saat ini terus mengalami perkembangan. Evaluasi merupakan istilah baru dalam kajian keilmuan yang telah berkembang menjadi disiplin ilmu sendiri. Walaupun demikian, bidang kajian evaluasi ternyata telah banyak memberikan manfaat dan kontribusinya didalam memberikan informasi maupun data, khususnya mengenai pelaksanan suatu program tertentu yang pada gilirannya akan menghasilkan rekomendasi dan digunakan oleh pelaksana program tersebut untuk menentukan keputusan, apakah program tersebut dihentikan, dilanjutkan, atau ditingkatkan lebih baik lagi. Dan saat ini, evaluasi telah berkembang menjadi tren baru sebagai disiplin ilmu baru dan sering digunakan oleh hampir  semua bidang dalam suatu program tertentu seperti,evaluasi program training pada sebuah perusahaan, evaluasi program pembelajaran dalam pendidikan, maupun evalausi kinerja para pegawai negeri sipil pada sebuah instansi tertentu.
Dalam implementasinya ternyata evaluasi dapat berbeda satu sama lain, hal ini tergantung dari maksud dan tujuan dari evaluasi tersebut dilaksanakan. Seperti evaluasi program pembelajaran tidak akan sama dengan evaluasi kinerja pegawai. Evaluasi program pembelajaran dilakukan dengan dituan untuk melihat sejauh mana hasil belajar telah tercapai dengan optimal sesuai dengan target dan tujuan pembelajaran itu sediri. Sedangkan evaluasi kinerja pegawai dilakukan dengan tujuan untuk melihat kualitas, loyalitas, atau motivasi kerja pegawai, sehingga akan menentukan hasil produksi. Dengan adanya perbedaan tersebut lahirlah beberapa model evaluasi yang dapat menjadi pertimbangan evaluator dalam melakukan evaluasi. Dari beberapa model evaluasi yang ada, penulis hanya akan membahas model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) yang dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam.
Model evaluasi CIPP dalam pelaksanaannya lebih banyak digunakan oleh para evaluator, hal ini dikarenakan model evaluasi ini lebih komprehensif jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Model evaluasi ini dikembangkan oleh Stuffleabem, dkk. (1967) di Ohio State University. Model evaluasi ini pada awalnya digunakan untuk mengevaluasi ESEA (the Elementary and Secondary Education Act). CIPP merupakan singkatan dari, context evaluation: evaluasi terhadap konteks, input evaluation: evaluasi terhadap masukan, process evaluation: evaluasi terhadap proses, dan product evaluation : evaluasi terhadap hasil. Keempat singkatan dari CIPP tersebut itulah yang menjadi komponen evaluasi.
Model CIPP berorientasi pada suatu keputusan (a decision oriented evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator (kepala sekolah dan guru) didalam membuat keputusan. Menurut Stufflebeam, (dalam Widoyoko, 2009: 118) mengungkapkan bahwa, “ the CIPP approach is based on the view that the most important purpose of evaluation is not to prove but improve.” Konsep tersebut ditawarkan oleh Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan penting evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki.
Penerapan CIPP menurut Tiangtong & Tongchin (2013) dalam jurnal yang berjudul A Multiple Intelligences Supported Web-based Collaborative Learning Model Using Stufflebeam’s CIPP Evaluation Model dinyatakan hal berikut, yang artinya:
model evaluasi CIPP telah digunakan untuk mengevaluasi berbagai proyek pendidikan dan lembaga. Misalnya, Joseph Felix mengadopsi model evaluasi CIPP untuk mengevaluasi dan meningkatkan instruksi di Cincinnati, Ohio, sistem sekolah (Felix, 1979), sama, Tom Nicholson direkomendasikan model evaluasi CIPP untuk mengevaluasi membaca instruksi (Nicholson, 1998), sama Jan Matthews dan Alan Hudson mengembangkan pedoman untuk evaluasi proyek pelatihan orangtua dalam kerangka model evaluasi CIPP (Matthews & Hudson, 2001).
Penerapan CIPP menurut menurut Guili Zhang et al (2011) dalam jurnal yang berjudul Using the Context, Input, Process, and Product Evaluation Model (CIPP) as a Comprehensive Framework to Guide the Planning, Implementation, and Assessment of Service-learning Programs dinyatakan hal berikut, yang artinya:
sebuah proyek pengembangan fakultas dirancang untuk mendukung pengajaran dan evaluasi profesionalisme mahasiswa kedokteran dan warga diperiksa menggunakan model evaluasi CIPP (Steinert, Cruess, Cruess, & Snell, 2005). Model ini telah digunakan untuk membangun sistem indikator pendidikan nasional Taiwan (Chien, Lee, & Cheng, 2007). Model ini juga berfungsi sebagai model evaluasi untuk Osokoya dan Adekunle (2007) untuk menilai tingkat terlatihnya pendaftar di Yayasan Leventis (Nigeria) proyek Sekolah Pertanian'. Selain itu, Combs, Gibson, et al. (2008) berasal penilaian kursus dan peningkatan model yang didasarkan pada model evaluasi CIPP karena fleksibilitas dalam memberikan hasil formatif dan sumatif.
Adapun menurut Zaresenjary & Khorami (2015) penerapan CIPP dalam jurnal yang berjudul The Pathology of In-service Training Courses of Dezful's Elementary Schools Teachers Based on the CIPP Model dinyatakan hal berikut, yang artinya:
sebuah sistem evaluasi bersifat efektif yang memberikan variasi majemen, struktur dan sumber daya manusia, mampu menilai sebuah rencana secara akurat berdasarkan pengetahuan yang sesuai, begitu sangat penting. Model evaluasi CIPP dapat memberikan kerangka yang komperhensif sebagai sebuah evaluasi kinerja pusat-pusat pendidikan dan menawarkan keakuratan serta kesesuaian informasi untuk mendukung seorang manajer pendidikan untuk menentukan strategi penentuan keputusan.

1   Evaluasi Model CIPP (Context, Input, Process, Product)

Model evaluasi CIPP ini merupakan salah satu dari beberapa teknik evaluasi suatu program yang ada. Model ini dikembangkan oleh salah satu pakar evaluasi, Stufflebeam yang dikembangkan pada tahun 1971 dengan berlandaskan pada keempat dimensi yaitu dimensi context, dimensi input, dimensi process, dan dimensi product.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi
Stufflebeam melihat tujuan evaluasi sebagai:
  1. Penetapan dan penyediaan informasi yang bermanfaat untuk menilai keputusan alternatif;
  2. Membantu audience untuk menilai dan mengembangkan manfaat program pendidikan atau obyek;
  3. Membantu pengembangan kebijakan dan program.

Model CIPP ini dikembangkan oleh Stufflebeam dan kawan-kawan (1967) di Ohio State University. CIPP yang merupakan sebuah singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu:
Context evaluation   : evaluasi terhadap konteks
Input evaluation       : evaluasi terhadap masukan
Process evaluation   : evaluasi terhadap proses
Product evaluation   : evaluasi terhadap hasil
Keempat kata yang disebutkan dalam singkatan CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang tidak lain adalah komponen dari proses sebuah program kegiatan. Dengan kata lain, model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem.
Secara garis besar evaluasi model CIPP mencakup empat macam keputusan:
  1. Perencanaan keputusan yang mempengaruhi pemilihan tujuan umum dan tujuan khusus
  2. Keputusan pembentukan atau structuring
  3. Keputusan implementasi
  4. Keputusan yang telah disusun ulang yang menentukan suatu program perlu diteruskan, diteruskan dengan modifikasi, dan atau diberhentikan secara total atas dasar kriteria yang ada.

2   Model CIPP

2.1  Context Evaluation (Evaluasi Konteks)

Stufflebeam (dalam Hasan, 2002: 128) menyebutkan, tujuan evaluasi konteks yang utama adalah untuk mengetahui kekutan dan kelemahan yang dimiliki evaluan. Dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan ini, evaluator akan dapat memberikan arah perbaikan yang diperlukan. Arikunto menjelaskan bahwa, evaluasi konteks adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. Dalam hal ini suharsimi memberikan contoh evaluasi program makanan tambahan anak sekolah (PMTAS) dalam pengajuan pertanyaan evaluasi sebagai berikut:
  1. Kebutuhan apa saja yang belum terpenuhi oleh program, misalnya jenis makanan dan siswa yang belum menerima?
  2. Tujuan pengembngan apakah yang belum tercapai oleh program, misalnya peningkatan kesehatan dan prestasi siswa karena adanya makanan tambahan?
  3. Tujuan pengembangan apakah yang dapat membantu mnegembangkan masyarakat, misalnya kesadaran orang tua untuk memberikan makanan bergizi kepada anak-anaknya?
  4. Tujuan-tujuan manakah yang paling mudah dicapai, misalnya pemerataan makanan, ketepatan penyediaan makanan?

2.2  Input Evaluation (Evaluasi Masukan)

Tahap kedua dari model CIPP adalah evaluasi input, atau evaluasi masukan. Menurut Widoyoko (2009: 136), evaluasi masukan membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternative apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Komponen evaluasi masukan meliputi: 1) sumber daya manusia, 2) sarana dan peralatan pendukung, 3) dana atau anggaran, dan 4) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan. Dalam hal ini pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan pada tahap evaluasi masukan ini adalah :
  1. Apakah makanan yang diberikan kepada siswa berdampak jelas pada perkembangan siswa?
  2. Berapa orang siswa yang menerima dengan senang hati atas makanan tambahan itu?
  3. Bagaimana reaksi siswa terhadap pelajaran setelah menerima makanan tambahan?
  4. Seberapa tinggi kenaikan nilai siswa setelah menerima makanan tambahan?

Menurut Stufflebeam (dalam Arikunto, 2010: 56), mengungkapkan bahwa pertanyaan yang berkenaan dengan masukan mengarah pada pemecahan masalah yang mendorong diselenggarakannya program yang bersangkutan.

2.3  Process Evaluation (Evaluasi Proses)

Worthen & Sanders 1981 (dalam Widoyoko, 2009: 137) menjelaskan bahwa, evaluasi proses menekankan pada tiga tujuan: “ (1) do detect or predict in procedural design or its implementation during implementation stage, (2) to provide information for programmed decision, and (3) to maintain a record of the procedure as it occurs “. Evaluasi proses digunakan untuk menditeksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Evaluasi proses meliputi koleksi data penilaian yang telah ditentukan dan diterapkan dalam praktik pelaksanaan program. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto, evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada “apa” (what) kegiatan yang dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, “kapan” (when) kegiatan akan selesai. Dalam model CIPP, evaluasi proses diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan didalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. Oleh Stufflebeam diusulkan pertanyaan-pertanyaan untuk proses sebagai berikut:
  1. Apakah pelaksanaan program sesuai dengan jadwal?
  2. Apakah staf yang terlibat didalam pelaksanaan program akan sanggup menangani kegiatan selama program berlangsung dan kemungkinan jika dilanjutkan?
  3. Apakah sarana dan prasarana yang disediakan dimanfaatkan secara maksimal?
  4. Hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai selama pelaksanaan program dan kemungkinan jika program dilanjutkan?

2.4  Product Evaluation (Evaluasi Produk/Hasil)

Sax 1980 (dalam Widoyoko, 2009: 598) memberikan pengertian evaluasi produk/hasil adalah “ to allow to project director (or techer) to make decision of program ”. Dari evaluasi proses diharapkan dapat membantu pimpinan proyek atau guru untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir, maupun modifikasi program. Sementara menurut Farida Yusuf Tayibnapis (dalam Widoyoko, 2009: 14) menerangkan, evaluasi produk untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan.
Dari pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpuan bahwa, evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/ keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Pada tahap evaluasi inilah seorang evaluator dapat menentukan atau memberikan rekomendasi kepada evaluan apakah suatu program dapat dilanjutkan, dikembangkan/modifikasi, atau bahkan dihentikan. Pada tahap evaluasi ini diajukan pertanyaan evaluasi sebagai berikut:
  1. Apakah tujuan-tujuan yang ditetapkan sudah tercapai?
  2. Pernyataan-pernyataan apakah yang mungkin dirumuskan berkaitan antara rincian proses dengan pencapaian tujuan?
  3.  Dalam hal apakah berbagai kebutuhan siswa sudah dapat dipenuhi selama proses pemberian makanan tambahan (misalnya variasi makanan, banyaknya ukuran makanan, dan ketepatan waktu pemberian)?
  4. Apakah dampak yang diperoleh siswa dalam waktu yang relatif panjang dengan adanya program makanan tambahan ini?

3   Tujuan dan fungsi Evaluasi CIPP

Tujuan evaluasi program model CIPP adalah untuk keperluan pertimbangan dalam pengambilan sebuah keputusan/kebijakan.
Fungsi dari evaluasi model CIPP adalah membantu penanggung jawab program tersebut (pembuat kebijakan) dalam mengambil keputusan apakah meneruskan, modifikasi, atau menghentikan program.

Apabila tujuan yang ditetapkan program telah mencapai keberhasilannya, maka ukuran yang digunakan tergantung pada kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Daftar Pustaka

Hasan, Hamid. 2009. Evaluasi Kurikulum, cetakan kedua. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tiantong,  M. & P. Tougchin. 2013. A Multiple Intelligences Supported Web-based Collaborative Learning Model Using Stufflebeam’s CIPP Evaluation Model. International Journal of Humanities and Social Science. 3(7): 159 (diunduh tanggal 17 Agustus 2015).
Widoyoko, Eko Putro. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran : Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zaresenjary E., N. S. Khorami. The Pathology of In-service Training Courses of Dezful's Elementary Schools Teachers Based on the CIPP Model. International Journal On New Trends In Education And Literature. 1(7): 31 (diunduh tanggal 17 Agustus 2015).
Zhang G., N. Zeller, R. Griffith, D. Metcalf, J. Williams, C. Shea, & K. Misulis. 2011. Using the Context, Input, Process, and Product Evaluation Model (CIPP) as a Comprehensive Framework to Guide the Planning, Implementation, and Assessment of Service-learning Programs. Journal of Higher Education Outreach and Engagement. 15(4): 61-62 (diunduh tanggal 17 Agustus 2015).

Komponen Pendukung Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

1         Kinerja Kepala Sekolah

Kepala sekolah sebagai organisator memilki peran yang sangat penting menentukan jalanya organisasi sekolah. Sekolah memerlukan suatu organisasi kerja yang baik, sehingga kepala sekolah dituntut mampu menumbuhkembangkan kreativitas kerja guru dan staf sekolah. Oleh karena itu, kinerja kepala sekolah seharusnya mencerminkan lebih baik daripada guru dan staf lainya. Kinerja kepala sekolah itu harus tampak dalam memainkan perannya secara profesional.
Peran kepala sekolah sebagai administrator pendidik bertolak dari hakikat administrasi pendidikan, yakni mendayagunakan berbagai sumber (manusia sarana dan prasarana serta berbagai media pendidikan lainya) secara optimal, relevan, efektif dan efisien guna menunjang pencapaian pendidikan. Secara kongkret pelaksanaan tugas dan administrator dalam administrasi pendidikan mencakup lingkup subtansi administrasi pendidikan (sekolah) (1) kurikulum atau pengajaran, (2) kesiswaan, (3) pelengkapam, (4) keuangan, (5) kepegawaian dan (6) hubungan sekolah dan masyarakat. Sehubungan dengan itu tugas-tugas kepala sekolah sebagai administrator, Burton (dalam Mantja, 2002: 64) menyarankan bahwa : “Beberapa kompetensi dasar yang perlu dikuasai oleh Kepala Sekolah yakni (1) memahami kurikulum sekolah, (2) membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam kelas, (3) mengadakan hubungan dengan masyarakat di sekitarnya untuk keefektifan pelaksanaan pengajaran di sekolah khususnya para orang tua murid, (4) mampu menciptakan hubungan baik guru dengan murid di sekolahnya, (5) mengelola sarana dan fasilitas sekolah; (6) mampu melaksanakan program kerja pengajaran”.
Kompetensi yang diperlukan administrator menekankan perlunya kompetensi dasar yang harus dikuasai yaitu: teknis, manusiawi, dan konseptual. Ketrampilan teknis yang ditunjuk kerjakan oleh administrator sekolah Budgeting, schedule, staffing, dan berbagai tanggung jawab administrasi yang sejenisnya. Ketrampilam, amusia (insani) mengacu kepada ketrampilan yang diperlukan dalam keberhasilan kerja dengan orang per orang atau dalam latar kelompok. Sedangkan ketrampilan konseptual adalah kemampuan yang diperlukan oleh administrator untuk melihat gambaran keseluruhan dan hubungan-hubunganya diantara dan di dalam bagian-bagian yang berlainan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang mengacu pada perbuatan dan kinerja yang bersifat rasional dan memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu termasuk tugas kepala sekolah sebagai administrator, manajer, pimpinan, sekolah supervisior secara subtansial merupakan tugaas-tugas pokok kepala sekolah yang menurut kinerja kepala sekolah secara profesional.

2         Kinerja Guru Dalam Proses Belajar Mengajar

Bangsa dan negara akan dapat memasuki era globalisasi dengan tegar apabila memiliki sistem pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan, terutama ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung dalam ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar, guru memegang peranan yang penting, guru adalah kreator proses belajar mengajar.
Dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan disadari suatu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan menciptakan dan mempersiapkan guru-guru yang profesional yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab baru untuk merencanakan pendidikan masa depan. Pada dasarnya peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pengajar profesional. Dengan demikian untuk pembinaan dan peningkatan profesional guru perlu dikembangkan kegiatan profesional kesejawatan yang baik, harmonis, dan objektif. Secara sitematis pengembangan kejawatan memerlukan:
(1)        Wadah/ kelembagaan. Untuk pengembangan kesejawatan alah kelompok yang merupakan organ yang bersifat non struktural dan lebih bersifat formal.
(2)     Bentuk kegiatan kelompok yang dibentuk merupakan wadah kegiatan dimana antara anggota sejawat biasa saling asah, asuh dan asih untuk meningkatkan kualitas diri masing-masing khusunya dan mencapai kualitas sekolah serta pendidikan pada umumnya.
(3)         Mekanisme, kegiatan kelompok dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Sebagaimana konsep ash, asuh, asih. Maka setiap anggota kelompok memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam setiap kegiatan tanpa memandang jenjang kepangkatan jabatan dan gelar akademik yang disandangnya.
(4)     Standar profesional guru, pada dasarnya kelompok yang diuraikan di atas merupakan wadah aktifitas profesional untuk meningkatkan kemampuan profesional guru. Aktifitas yang dimaksud tidak bersifat searah melainkan bersifat multi arah, artinya aktifitas yang dilaksanakan bersifat komprehensif dan total mencakup presentasi, observasi, penilaian, kritik, tanggapan, saran dan bimbingan.

3         Partisipasi Masyarakat

Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Selanjutnya, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah yang diharapkan dari masyarakat, antara lain:
(1)          Tenaga yaitu sebagai sumber atau tenaga sukarela untuk membantu mensukseskan wajib belajar dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, serta memperbaiki sarana dan prasarana baik secara individu maupun secara kelompok.
(2)       Dana, untuk membantu pendanaan operasional sekolah, memberikan beasiswa, menjadi orang tua asuh, menjadi sponsor dalam suatu kegiatan sekolah, dan sebagainya.
(3)    Pemikiran, yaitu memberikan masukan berupa pendapat pemikiran dalam rangka menjaring anak-anak usia sekolah, menanggulangi anak putus sekolah, dan meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Salah satu kebijakan pemerintah menyangkut pembiayaan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pada semua jenjang pendidikan (dasar, menengah, dan tinggi) yakni, peningkatan peran serta masyarakat dunia usaha dalam penyelenggaraan ppendidikan ditingkatkan, antara lain dengan mengembangkan ekanisme kerjasama saling menguntungkan bagi siswa, lembaga pendidikan, dan masyarakat dan dunia usaha. Kelompok masyarakat mampu perlu didorong untuk memberi sumbangan yang lebih besar dalam membiayai pendidikan. Sementara itu, bagi masyarakat tidak mampu disediakan bantuan, baik langsung ataupun tidak langsung demi pemusatan dan keadilan pendidikan. Dunia usaha didiorong untuk memberi bantuan beasiswa, tenaga fasilitas praktik dan penelitian. Masyarakat dunia usaha juga diharapkan untuk memberikan pemikiran dan sumbangan dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Sekolah merupakan lembaga yang tidak dapat dipisahkan masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidsak dapt dipisahkan dari sekolah. Dikatakan demikian, karena keduanya memiliki kepentingan. Sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu.
Partisipasi masyarakat merupakan wujud pemberdayaan masyarakat sebagai daya dukung sekolah dalam rangka pengelolaan sekolah secara efektif dan efisien agar seoptimal mungkin sasaran dan tujuan pendidikan sekolah dapat tercapai. Partisipasi masyarakat luas seperti, kalangan dunia usaha, tokoh masyarakat dan organisasi pemerhati pendidikan dengan upaya-upayanya yang dapat dilakukan mulai pada tahap perumusan kebijaksanaan iimplementasi kebijakansanaan secara operasional serta evaluai dan pengawasan dan pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan sekolah.

Daftar Putsaka

Matja, W. 1990. Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Wineka Media.

Wednesday, 27 April 2016

Arti, Posisi dan Fungsi Media Pembelajaran

Pengertian Media Pembelajaran

       Media merupakan bentuk jamak dari kata medium, kata yang berasal dari bahasa latin medius, yang secara harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’ atau ‘pengantar’ oleh Arsyad, 2002 mengkutip Sadiman, dkk., 1990 dalam (http://yusef77.blogspot.com, 2011). Oleh karena itu, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Media dapat berupa sesuatu bahan (software) dan/atau alat (hardware). Sedangkan menurut Gerlach & Ely dikutip Arsyad, 2002 dalam (http://yusef77.blogspot.com, 2011), bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi, yang menyebabkan siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Jadi menurut pengertian ini, guru, teman sebaya, buku teks, lingkungan sekolah dan luar sekolah, bagi seorang siswa merupakan media. Pengertian ini sejalan dengan batasan yang disampaikan oleh Gagne, 1985 dalam (http://yusef77.blogspot.com, 2011), yang menyatakan bahwa media merupakan berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar.
       Banyak batasan tentang media, Association of Education and Communication Technology (AECT) memberikan pengertian tentang media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi. Dalam hal ini terkandung pengertian sebagai medium oleh Gagne, et al., 1988 dalam (http://yusef77.blogspot.com, 2011) atau mediator, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar -siswa dan isi pelajaran. Sebagai mediator, dapat pula mencerminkan suatu pengertian bahwa dalam setiap sistem pengajaran, mulai dari guru sampai kepada peralatan yang paling canggih dapat disebut sebagai media. Heinich, et.al., 1993 dalam (http://yusef77.blogspot.com, 2011) memberikan istilah medium, yang memiliki pengertian yang sejalan dengan batasan di atas yaitu sebagai perantara yang mengantar informasi antara sumber dan penerima.
       Dalam dunia pendidikan, sering kali istilah alat bantu atau media komunikasi digunakan secara bergantian atau sebagai pengganti istilah media pendidikan (pembelajaran). Seperti yang dikemukakan oleh Hamalik, 1994 dalam (http://yusef77.blogspot.com, 2011) bahwa dengan penggunaan alat bantu berupa media komunikasi, hubungan komunikasi akan dapat berjalan dengan lancar dan dengan hasil yang maksimal. Batasan media seperti ini juga dikemukakan oleh Reiser dan Gagne dalam Criticos, 1996; Gagne, et al., 1988 dari (http://yusef77.blogspot.com, 2011), yang secara implisit menyatakan bahwa media adalah segala alat fisik yang digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran. Dalam pengertian ini, buku/modul, tape recorder, kaset, video recorder, camera video, televisi, radio, film, slide, foto, gambar, dan komputer adalah merupakan media pembelajaran. Menurut National Education Association -NEA dalam Sadiman, dkk., 1990 dari (http://yusef77.blogspot.com, 2011), media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik yang tercetak maupun audio visual beserta peralatannya.
        Berdasarkan batasan media tersebut, media pembelajaran adalah segala sesuatu yang menyangkut software dan hardware yang dapat digunakan meyampaikan isi materi ajar dari sumber belajar ke pebelajar, yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat pebelajar sedemikian rupa sehingga proses belajar menjadi lebih efektif.

Posisi Media Pembelajaran

       Bruner 1966 dalam (http://sihodma.blogspot.com) mengungkapkan ada tiga tingkatan utama modus belajar, seperti: enactive (pengalaman langsung), iconic (pengalaman piktorial atau gambar), dan symbolic (pengalaman abstrak). Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dan perilaku dapat terjadi karena adanya interaksi antara pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dialami sebelumnya melalui proses belajar. Sebagai ilustrasi misalnya, belajar untuk memahami apa dan bagaimana mencangkok. Dalam tingkatan pengalaman langsung, untuk memperoleh pemahaman pebelajar secara langsung mengerjakan atau membuat cangkokan. Pada tingkatan kedua, iconic, pemahaman tentang mencangkok dipelajari melalui gambar, foto, film atau rekaman video. Selanjutnya pada tingkatan pengalaman abstrak, siswa memahaminya lewat membaca atau mendengar dan mencocokkannya dengan pengalaman melihat orang mencangkok atau dengan pengalamannya sendiri.
       Berdasarkan uraian di atas, maka dalam proses belajar mengajar sebaiknya diusahakan agar terjadi variasi aktivitas yang melibatkan semua alat indera pebelajar. Semakin banyak alat indera yang terlibat untuk menerima dan mengolah informasi (isi pelajaran), semakin besar kemungkinan isi pelajaran tersebut dapat dimengerti dan dipertahankan dalam ingatan pebelajar. Jadi agar pesan-pesan dalam materi yang disajikan dapat diterima dengan mudah (atau pembelajaran berhasil dengan baik), maka pengajar harus berupaya menampilkan stimulus yang dapat diproses dengan berbagai indera pebelajar. Pengertian stimulus dalam hal ini adalah suatu “perantara” yang menjembatani antara penerima pesan (pebelajar) dan sumber pesan (pengajar) agar terjadi komunikasi yang efektif.
       Media pembelajaran merupakan suatu perantara seperti yang dimaksud pada pernyataan di atas. Dalam kondisi ini, media yang digunakan memiliki posisi sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran, yaitu alat bantu mengajar bagi guru (teaching aids). Misalnya alat-alat grafis, photografis, atau elektronik untuk menangkap, memproses, dan menyususn kembali informasi visual atau verbal. Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman kongkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa. Sehingga alat bantu yang banyak dan sering digunakan adalah alat bantu visual, seperti gambar, model, objek tertentu, dan alat-alat visual lainnya. Oleh karena dianggap sebagai alat bantu, guru atau orang yang membuat media tersebut kurang memperhatikan aspek disainnya, pengembangan pembelajarannya, dan evaluasinya.
       Dengan kemajuan teknologi di berbagai bidang, misalnya dalam teknologi komunikasi dan informasi pada saat ini, media pembelajaran memiliki posisi sentral dalam proses belajar dan bukan semata-mata sebagai alat bantu. Media pembelajaran memainkan peran yang cukup penting untuk mewujudkan kegiatan belajar menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam posisi seperti ini, penggunaan media pembelajaran dikaitkan dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh media, yang mungkin tidak mampu dilakukan oleh guru (atau guru melakukannya kurang efisien). Dengan kehadiran media pembelajaran maka posisi guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar, tetapi sebagai fasilitator. Bahkan pada saat ini media telah diyakini memiliki posisi sebagai sumber belajar yang menyangkut keseluruhan lingkungan di sekitar pebelajar.
       Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (kongkret) berdasarkan kenyataan yang ada di lingkungan hidupnya, kemudian melalui benda-benda tiruan, dan selanjutnya sampai kepada lambang-lambang verbal (abstrak). Untuk kondisi seperti inilah kehadiran media pembelajaran sangat bermanfaat. Dalam posisinya yang sedemikian rupa, media akan dapat merangsang keterlibatan beberapa alat indera. Di samping itu, memberikan solusi untuk memecahkan persoalan berdasarkan tingkat keabstrakan pengalaman yang dihadapi pebelajar. Kenyataan ini didukung oleh landasan teori penggunaan media yang dikemukakan oleh Edgar Dale, yaitu teori Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience) seperti Gambar 1 di bawah dari (ibnuminhaji.blogspot.com, 2011)


Gambar 1. Kerucut Pengalaman Edgar Dale

Fungsi Media Pembelajaran

       “Efektivitas proses belajar mengajar (pembelajaran) sangat dipengaruhi oleh faktor metode dan media pembelajaran yang digunakan. Keduanya saling berkaitan, di mana pemilihan metode tertentu akan berpengaruh terhadap jenis media yang akan digunakan. Dalam arti bahwa harus ada kesesuaian di antara keduanya untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Walaupun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dalam pemilihan media, seperti: konteks pembelajaran, karakteristik pebelajar, dan tugas atau respon yang diharapkan dari pebelajar. Sedangkan menurut Criticos (1996), tujuan pembelajaran, hasil belajar, isi materi ajar, rangkaian dan strategi pembelajaran adalah kriteria untuk seleksi dan produksi media. Dengan demikian, penataan pembelajaran (iklim, kondisi, dan lingkungan belajar) yang dilakukan oleh seorang pengajar dipengaruhi oleh peran media yang digunakan.” Dalam (http://abdulsyukur.blog.upi.edu, 2011)
       “Pemanfaatan media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat baru, meningkatkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan berpengaruh secara psikologis kepada siswa. Selanjutnya diungkapkan bahwa penggunaan media pengajaran akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian informasi (pesan dan isi pelajaran) pada saat itu. Kehadiran media dalam pembelajaran juga dikatakan dapat membantu peningkatan pemahaman siswa, penyajian data/informasi lebih menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Jadi dalam hal ini dikatakan bahwa fungsi media adalah sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar.” Dalam (http://abdulsyukur.blog.upi.edu, 2011)
       “Sadiman, dkk (1990) menyampaikan fungsi media (media pendidikan) secara umum, adalah sebagai berikut: (i) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat visual; (ii) mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera, misal objek yang terlalu besar untuk dibawa ke kelas dapat diganti dengan gambar, slide, dsb., peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi lewat film, video, fota atau film bingkai; (iii) meningkatkan kegairahan belajar, memungkinkan siswa belajar sendiri berdasarkan minat dan kemampuannya, dan mengatasi sikap pasif siswa; dan (iv) memberikan rangsangan yang sama, dapat menyamakan pengalaman dan persepsi siswa terhadap isi pelajaran.” Dalam (http://abdulsyukur.blog.upi.edu, 2011)
       “Fungsi media, khususnya media visual juga dikemukakan oleh Levie dan Lentz, seperti yang dikutip oleh Arsyad (2002) bahwa media tersebut memiliki empat fungsi yaitu: fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris. Dalam fungsi atensi, media visual dapat menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran. Fungsi afektif dari media visual dapat diamati dari tingkat “kenikmatan” siswa ketika belajar (membaca) teks bergambar. Dalam hal ini gambar atau simbul visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa. Berdasarkan temuan-temuan penelitian diungkapkan bahwa fungsi kognitif media visual melalui gambar atau lambang visual dapat mempercepat pencapaian tujuan pembelajaran untuk memahami dan mengingat pesan/informasi yang terkandung dalam gambar atau lambang visual tersebut. Fungsi kompensatoris media pembelajaran adalah memberikan konteks kepada siswa yang kemampuannya lemah dalam mengorganisasikan dan mengingat kembali informasi dalam teks. Dengan kata lain bahwa media pembelajaran ini berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dalam bentuk teks (disampaikan secara verbal).” Dalam (http://abdulsyukur.blog.upi.edu, 2011)
       “Dengan menggunakan istilah media pengajaran, Sudjana dan Rivai (1992) mengemukakan beberapa manfaat media dalam proses belajar siswa, yaitu: (i) dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pengajaran akan lebih menarik perhatian mereka; (ii) makna bahan pengajaran akan menjadi lebih jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya penguasaan serta pencapaian tujuan pengajaran; (iii) metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui kata-kata; dan (iv) siswa lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan.” Dalam (http://abdulsyukur.blog.upi.edu, 2011)
       Berdasarkan beberapa fungsi media pembelajaran yang dikemukakan tadi, dapat disimpulkan bahwa penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar memiliki pengaruh yang besar terhadap alat-alat indera. Terhadap pemahaman isi pelajaran, secara nalar dapat dikemukakan bahwa dengan penggunaan media akan lebih menjamin terjadinya pemahaman yang lebih baik pada siswa. Pebelajar yang belajar lewat mendengarkan saja akan berbeda tingkat pemahaman dan lamanya “ingatan” bertahan, dibandingkan dengan pebelajar yang belajar lewat melihat atau sekaligus mendengarkan dan melihat. Media pembelajaran juga mampu membangkitkan dan membawa pebelajar ke dalam suasana rasa senang dan gembira, di mana ada keterlibatan emosianal dan mental. Tentu hal ini berpengaruh terhadap semangat mereka belajar dan kondisi pembelajaran yang lebih hidup, yang nantinya bermuara kepada peningkatan pemahaman pebelajar terhadap materi ajar. Dalam (http://abdulsyukur.blog.upi.edu, 2011)



Daftar Pustaka

Aziz, Yusef Abdul.(2011) http://yusef77.blogspot.com/2011/03/media-pembelajaran.html

Sihodma. (2011) http://sihodma.blogspot.com/2011/06/media-pendidikan-diperlukan-untuk.html

Syukur, Abdul. (2011) http://abdulsyukur.blog.upi.edu/2011/06/13/rangkuman-media/

Manajemen Berbasis Sekolah

1.  Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Menurut UU RI No 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 51 ayat (1) yang dimaksud dengan “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini sekolah atau madrasah dan guru di bantu komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari “School-based management”. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan selevansi pendidikan dengan tuntutan dari perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana mengalokasikanya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan (Mulayasa, 2002: 24).
2.  Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Karakterisistik MBS bisa diketahui antara lain dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran, pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan. Selain dengan itu, berdasarkan pelaksanaan di negara maju bahwa karakteristik dasar MBS adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi, kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional, serta adanya team work yang tinggi dan profesional (Mulyasa, 2002 : 35-36).
3.  Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
MBS bertujuan memberdayakan sekolah, terutama sumber daya manusia melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas sumber daya lain untuk memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan. Tujuan utama penerapan penerapan MBS adalah untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan dan meningkatkan relevansi pendidikan di sekolah, dengan adanya wewenang yang lebih besar dan lebih luas bagi sekolah untuk mengelola urusanya sendiri.
Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu upaa pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bangsa yang beragama dan berbudaya. Manajemen berbasis sekolah bertujuan agar otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat atau local stakeholders mempunyai keterlibatan yang tinggi, dan setiap unsur akan dapat berperan dalam meningkatkan mutu, efisiensi dan pemerataan kesempatan pendidikan (Fatah, 2004: 12).
Menurut Mulyasa (2002: 25) bahwa tujuan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. MBS memberikan peluang kepada guru dan kepala sekolah dalam mengelola satuan pendidikan persekolahan menjadi lebih efektif karena adanya partisipasi dan rasa kepemilikan dan keterlibatan yang tinggi dalam membuat keputusan. Dengan demikian rasa kepemilikan mereka terhadap sekolah menjadi lebih tinggi, yang pada giliranya akan menimbulkan sikap positif dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada untuk dapat meningkatkan kualitas proses dan keluaran pendidikan.
Secara lebih khusus, tujuan manajemen berbasis sekolah memiliki tujuan sebagai berikut: (1) meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia, (2) meningkatlan kepedulian warga seolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui penambilan keputusan bersama, (3) meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orangtua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolah, (4) meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan, (5) memberdayakan potensi sekolah yang ada agar menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
Dengan demikian, MBS merubah sistem pengambilan keputusan dan pengelolan ke setiap kelompok yang berkepentingan di setiap lokasi penyelenggaraan pendidikan dan diharapkan setiap sekolah dapat melakukan perbaikan mutu yang berkelanjutan dan memiliki kemandirian sehingga dapat lebih akuntebel.
4. Manajemen Komponen-komponen Sekolah
Manajemen Sekolah pada hakikatnya mempunyai pengertian yang hampir sama dengan manajemen pendidikan. Ruang lingkup dan bidang kajian manajemen sekolah juga merupakan ruang lingkup dan bidang kajian manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen pendidikan mempunyai jangkauan yang lebih luas dari pada manajemen sekolah. Dengan perkataan lain, manajemen sekolah merupakan bagian dari manajeman pendidikan, atau penerapan manajeman pendidikan dalam organisasi sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem pendidikan yang berlaku.
Hal yang paling penting dalam implementasi manajemen berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yaitu :
4.1 Manajemen Kurikulum
Kurikulum ialah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistematik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan (Dakir, 2004: 3).
Manajemen kurikulum dan program pengajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada umumnya telah dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional pada tingkat pusat. Oleh karena itu, sekolah bertugas dan berwewenang untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan setempat.
Untuk menjamin efektifitas pengembangan kurikulum dan program pengajaran dalam MBS, kepala sekolah sebagai pengelola program pengajaran bersama dengan guru-guru harus menjabarkan isi kurikulum secara lebih rinci dan operasional ke dalam program tahunan, catur wulan dan bulanan. Adapun program mingguan atau program satuan pelajaran wajib dikembangkan guru sebelum melakukan kegiatan belajar-mengajar (Mulyasa, 2002: 40-41).
4.2  Manajemen Tenaga Kependidikan
Keberhasilan MBS sangat ditentukan oleh keberhasilan pimpinanya dalam mengelola tenaga kependidikan yang tersedia di sekolah. Dalam hal ini peningkatan perilaku manusia di tempat kerja melalui aplikasi konsep dan teknik manajemen personalia moderen.
Manajemen tenaga kependidikan (guru dan personil) mencakup: (1) perencanaan pegawai, (2) pengadaan pegawai, (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) promosi dan mutasi, (5) pemberhentian pegawai, (6) kompensasi, dan (7) penilaian pegawai. Semua itu perlu dilakukan dengan baik dan benar agar apa yang diharapkan tercapai, yakni tersedianya tenaga kependidikan yang diperlukan dengan kualifikasi dan kemampuan yang sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas (Mulyasa, 2002: 42).
Dalam UU Guru dan Dosen pasal 20 ayat (1) di jelaskan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merancanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
4.3 Manajemen Kesiswaan
Manajemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan siswa, mulai masuk sampai dengan keluarnya siswa tersebut dari suatu sekolah.
Manajemen kesiswaan bertujuan mengatur berbagai kegiatan dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur, serta mencapai tujuan pendidikan sekolah. Untuk mewujudkan tujuan utama yang harus diperhatikan, yaitu penerimaan siswa baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin (Mulyasa, 2002: 46).
4.4  Manajemen Keuangan dan Pembiayaan
Keuangan dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam implentasi MBS, yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan, dan engevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah (Mulyasa, 2002: 47).
4.5 Manajeman Sarana dan Prasarana Pendidikan
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalanya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventarisasi, dan penghapusan serta penataan (Mulyasa, 2002: 49).
4.6 Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat
Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif. Sebaliknya sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya kebutuhan pendidikan.
Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain untuk: (1) memajukan kualitas pembelajaran, dan pertumbuhan anak, (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat, dan (3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah (Mulyasa, 2002: 50).
4.7  Layanan Khusus
Manajemen layanan khusus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah. Manajemen komponen-komponen tersebut merupakan bagian penting dari MBS yang efektif dan efisien.
Perpustakaan yang lengkap dan dikelola dengan baik memungkinkan siswa untuk lebih mengembangkan dan mendalami pengetahuan yang diperolehnya di kelas melalui belajar mandiri, baik pada waktu-waktu kosong di sekolah maupun di rumah.
Manajemen layanan khusus lain adalah layanan kesehatan dan keamanan. Sekolah sebagai satuan pendidikan yang bertugas dan bertanggung jawab melaksanakan proses pembelajaran, tidak hanya bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan sikap saja, tetapi harus menjaga dan meningkatkan kesehatan jasmani dan rohani siswa. Di samping itu, sekolah juga memberikan pelayanan keamanan kepada siswa dan para pegawai yang ada di sekolah agar dapat belajar dan melaksanakan tugas dengan tenang dan nyaman (Mulyasa, 2002: 52-53).
5. Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
Keleluasaan sekolah dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi meningkatkan mutu sekolah merupakan karakteristik manajemen berbasis sekolah (MBS). Selanjutnya SBM datap menjamin partisipasi personel sekolah, orang tua, siswa, dan masyarakat yang lebih luas perumusan-perumusan keputusan tentang pendidikan di sekolah. Dan pada akhirnya dapat mendukung efektifitas dalam mencapai tujuan sekolah. Secara umum, manfaat yang bisa diraih dalam melaksanakan MBS antara lain, (1) Sekolah dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah, karena lebih mengetahui peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin dihadapi, (2) sekolah lebih mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input dan output pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, (3) pengambilan keputusan partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah, karena sekolah lebih tau apa yang terbaik bagi sekolahnya, (4) penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana masyarakat turut serta mengawasi, (5) keterlibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan menciptakan transparasi dan demokrasi yang sehat, (6) sekolah bertanggungjawab tentang mutu pendidikan di sekolahnya kepada pemerintah, orang tua, siswa dan masyarakat, (7) sekolah dapat bersaing dengan sehat untuk meningkatkan mutu pendidikan, (8) sekolah dapat merespon aspirasi masyarakat yang dinamis dengan pendekatan kolaboratif.
6. Model MBS Ideal
Menurut Lawler (1986) keterlibatan tinggi dalam manajemen di sektor swasta menyangkut empat hal, yaitu: informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaaan.  Informasi memungkinkan para individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahami lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kerja dan tingkat kerja. Pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi efektif atas kesuksesan organisasi. Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribadi karyawan dengan keberhasilan organisasi. Secara tradisional empat hal tersebut. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, prekatek keorganisasian, kebijakan dan strategi. Dalam MBS menggambarkan pertukaran dua arah dalam empat hal tersebut. Alur dua arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus-menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya (Nurkolis, 2003: 110). Alur dua arah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Alur Dua Arah Manajemen Berbasis Sekolah

Gagasan lain tentang MBS yang ideal adalah menerapkan pada keseluruhan aspek pendidikan melalui pendekatan sistem. Konsep ini didasarkan pada pendekatan manajemen sebagai suatu sistem (Pidarta, 2004: 23). Seperti model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H terdiri dari output, proses dan input (Nurkolis, 2003: 111). Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah, yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektivitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, moral kerja. Proses sekolah adalah proses pengambilan keputusan, pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program, dan belajar-mengajar. Input sekolah antara lain visi, misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, input sumber daya. Model MBS ideal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Model MBS Ideal
7. Indikator Keberhasilan Implementasi MBS
Menurut Wahyudi (2010) dalam jurnal yang berjudul Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam Rangka Desentralisasi Pendidikan menyebutkan indikator keberhasilan implementasi manajemen berbasis sekolah dapat dilihat dari indikasi-indikasi sebagai berikut: (1) orientasi ke arah efektifitas proses pembelajaran tercermin dalam apresiasi guru terhadap pengembangan kurikulum dan implikasinya, kreativitas guru dalam aplikasi model pembelajaran dan teknologi pembelajaran, (2) kepemimpinan sekolah yang efektif, kepala sekolah memiliki peran penting dalam merealisasikan MBS, terutama dalam mengkoordinasikan, menggerakkan sumberdaya pendidikan yang tersedia, dan memadukan dukungan pihak-pihak pemangku kepentingan. Kepemimpinan sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolah melalui program-program yang dilaksanakan secara sistematis dan terencana, (3) pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikan secara berdaya guna, mengingat guru merupakan salah satu faktor dominan dalam pencapaian keberhasilan pendidikan di sekolah. Kepala sekolah mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif yang memungkinkan para guru dapat tumbuh kemampuan profesionalnya, (4) sekolah memiliki budaya mutu, yaitu kebutuhan untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan, kolaborasi menjadi dasar pengambilan keputusan dan perbaikan proses pembelajaran, personil sekolah merasa memiliki sekolah, (5) sekolah memiliki kemandirian, artinya sekolah mampu mengambilkan keputusan untuk melakukan perbaikan tanpa dipengaruhi oleh pihak luar yang tidak mengetahui masalah dan kenutuhan sekolah, (6) partisipasi warga sekolah dan masyarakat tinggi, dengan suatu asumsi bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar pula tanggungjawab dan rasa memilkiki terhadap sekolah, (7) sekolah semakin transparan, keterbukaan ditunjukkan kepada masyarakat dalam pengambilan putusan, penggunaan uang, ketercapaian program sekolah, (8) sekolah responsif terhadap kebutuhan, maknanya sekolah tanggap terhadap aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Bahkan sekolah mampu menyesuaikan terhadap perubahan dan dinamika yang terjadi pada masa kini dan masa mendatang, (9) sekolah mempunyai akuntabilitas, yaitu pertanggungjawaban pihak sekolah terhadap pencapaian program yang telah dilaksanakan kepada pemerintah dan utamanya kepada masyarakat selaku pemangku kepentingan, (10) keputusan warga sekolah, kepuasan (satisfaction) dapat dicapai apabila warga sekolah diberi kewenangan, tanggungjawab, dan kepercayaan untuk melaksanakan tugas-tugas sekolah. Perasaan senga, bahagia tercermin dalam perilaku kerja yang giat, tekun dan motivasi yang tinggi.

Daftar Pustaka

Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta.
Fattah, N. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Andira.
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
Wahyudi. 2010. Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management) dalam Rangka Desentralisasi Pendidikan. IP, FKIP, Universitas Tanjungpura. 23 (1): 4-5 (diunduh tanggal 14 Februari 2015).

Evaluasi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah



Evaluasi implementasi manajememen berbasis sekolah ini disajikan untuk mengetahui tentang pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di SMP N 1 Jepon Kabupaten Blora. Dengan menggunakan metode CIPP, teknik analisis deskriptif presentatif melalui prespektif vertikal. Penelitian ini mendapatkan hasil, evaluasi context dari siswa dan guru menunjukkan kategori “sangat berkualitas”dengan nilai hasil siswa 13,15 dan guru 20,54 . Evaluasi input dari siswa dan guru menunjukkan kategori “sangat berkualitas”dengan nilai hasil siswa 27,33 dan guru 19,88. Evaluasi process dari siswa menunjukkan kategori “berkualitas” dengan nilai hasil 26,67 sedangkan dari guru “kurang berkualitas”dengan nilai hasil 29,31. Hal ini menunjukkan bahwa guru masih ingin melakukan pembelajaran yang lebih dari siswa. Evaluasi product dari siswa dan guru menunjukkan kategori “sangat berkualitas” dengan nilai hasil siswa 26,30 dan guru 15,50. Tingkat keberhasilan manajemen berbasis sekolah sangat baik. Pelaksanaan manajeman kurikulum, kesiswaan, sarana dan prasarana, hubungan masyarakat dan administrasi sekolah sudah berjalan berkualitas dengan program kerja masing-masing yang telah direncanakan dan disusun oleh sekolah sehingga dapat berjalan dengan baik. Dari pelaksanaan manajeman berbasis sekolah yang baik faktor yang mendukung adalah kelengkapan sarana dan prasarana, kepemimpinan kepala sekolah, kenyamanan lingkungan sekitar sekolah, serta hubungan sekolah. Dari hasil evaluai empat aspek didapatkat hasil aspek proses lebih rendah dibandingkan aspek yang lain. Hal ini tentu menjadi penghambat dalam keberhasilan manajemen berbasis sekolah. faktor penghambat dalam menejemen berbasis sekolah di SMP N 1 Jepon adalah proses pembelajaran yang kurang maksimal. Dalam hal ini guru ingin proses pembelajaran yang lebih pada siswanya. Namun siswa masih beranggapan pembelajaran yang dilakukan oleh guru biasa sehinga mereka kurang memiliki motivasi belajar yang tinggi sehingga tercapai kesamaan tujuan dalam pembelajaran. Secara keseluruhan manajemen berbasis sekolah di SMP N 1 Jepon telah mencapai indikator keberhasilan implementasi manajemen berbasis sekolah. Untuk mengatasi faktor penghambat yang telah ada dapat dilakukan pertemuan antara perwakilan pihak sekolah dengan orang tua siswa, tetapi tetap menggunakan komite sekolah sebagai perantara. Sehingga tujuan dari proses pembelajaran dapat tercapai dengan baik.